Senin, 25 Agustus 2008

Aturan Hak Cipta

Beberapa hari yang lalu ada diskusi mengenai ‘perlukah artis memiliki Hak Cipta?’ di mailing list Pria Sehat Tanpa Celana. Saya termasuk yang tidak banyak memahami hukum Hak Cipta di Indonesia (malu saya sebagai orang Indonesia). Artis adalah pelaku seni (art), bisa sebagai pencipta (author) ataupun pemeran (performer), jangan diasosiasikan artis adalah hanya pemain sinetron atau selebriti ya!

Hukum Hak Cipta melindungi karya intelektual dan seni dalam bentuk ekspresi. Ekspresi yang dimaksud seperti dalam bentuk tulisan seperti lirik lagu, puisi, artikel atau buku, dalam bentuk gambar seperti foto, gambar arsitektur, peta, serta dalam bentuk suara dan video seperti rekaman lagu, pidato, video pertunjukan, video koreografi dll.

Definisi lain yang terkait adalah Hak Paten, yaitu hak eksklusif atas ekspresi di dalam Hak Cipta di atas dalam kaitannya dengan perdagangan. Regulasi di Amerika Hak Cipta diberikan seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, sedangkan paten berlaku 20 tahun. Saya tidak tahu hukum di Indonesia apakah sama atau tidak. Hak Cipta direpresentasikan dalam tulisan dengan simbol © (copyright) sedangkan Hak Paten disimbolkan dengan ™ (trademark). Hak Cipta atau Hak Paten yang masih dalam proses pendaftaran disimbolkan ® (registered). IANAL, so CMIIW dude!

Hukum Hak Cipta bertujuan melindungi hak pembuat dalam mendistribusikan, menjual atau membuat turunan dari karya tersebut. Perlindungan yang didapatkan oleh pembuat (author) adalah perlindungan terhadap penjiplakan (plagiat) oleh orang lain. Hak Cipta sering diasosiasikan sebagai jual-beli lisensi, namun distribusi Hak Cipta tersebut tidak hanya dalam konteks jual-beli, sebab bisa saja sang pembuat karya membuat pernyataan bahwa hasil karyanya bebas dipakai dan didistribusikan (tanpa jual-beli), seperti yang kita kenal dalam dunia Open Source, originalitas karya tetap dimiliki oleh pembuat, namun distribusi dan redistribusi mengacu pada aturan Open Source.Apa yang tidak dilindungi oleh hukum Hak Cipta?
Hak Cipta tidak melindungi peniruan, ide, konsep atau sumber-sumber referensi penciptaan karya. Apple sempat menuntut penjiplakan tema Aqua kepada komunitas Open Source, namun yang terjadi adalah bukan penjiplakan, tapi peniruan. Hak Cipta yang dimiliki Apple adalah barisan kode Aqua beserta logo dan gambar-gambarnya, sedangkan komunitas Open Source meniru wujud akhir tema Aqua dalam kode yang berbeda, dan tentunya membuat baru gambar dan warna pendukungnya. Meniru bukanlah karya turunan.

Dalam perangkat lunak selain karya asli yang dilindungi juga karya turunan (derivasi) tetap dilindungi. Misal Priyadi yang membuat kode
plugin php exec di WordPress harus mengikuti aturan redistribusi yang berlaku pada WordPress, dan WordPress mengikuti aturan PHP dan PHP memiliki lisensi Open Source. Dengan kata lain Priyadi harus tunduk terhadap aturan Open Source dalam meredistribusikan kodenya, karena karya tersebut bersifat turunan.
Masalah penjiplakan atau pembajakan memang tak pernah selesai, menjadi sangat rumit ketika semuanya berkaitan dengan uang atau meja hijau. Contoh kecil adalah misalnya jika saya menyanyikan lagu yang diciptakan oleh Chrisye di sebuah panggung dan penonton membayar saya, saya bisa dikatakan menjiplak dan mengambil untung. Kondisi ini jelas terjadi di mana-mana, banyak grup musik yang meniti karir dari pub ke pub menarik uang dengan menjiplak karya orang lain. Bahkan jika penampilan karya dalam bentuk gubahan, tetap dikatakan menjiplak karena itu bersifat karya turunan.


Saya sendiri pun termasuk dalam rantai pembajakan, misalnya men-download musik-musik dalam format mp3 atau mengubah format CD Audio ke dalam mp3 dan memberikannya kepada orang lain. Dalam kasus ini saya tidak menjiplak, tapi lebih kepada ‘konsumen para pembajak’. Tugas pemerintahlah melalui hukum mengurangi rantai pembajakan ini, dan jelas bisa dikurangi jika yang dibasmi adalah mata rantai yang lebih tinggi (pengedar, terutama dalam volume yang besar), bukan pengguna akhir.

Mungkin picik saya berkata seperti itu, tapi itu saya alami dalam hal lain, misalnya membeli buku, saya tidak membajak karena nyaris tidak ada rantai pembajakan buku yang saya konsumsi. Sewaktu kuliah dulu pengajar mewajibkan membaca text-book berbahasa Inggris dan sangat mahal, sedangkan di perpustakaan kampus hanya ada dalam itungan jumlah jari dalam satu tangan, tentunya sangat repot saya baca karena laku keras dipinjam oleh mahasiswa, akhirnya buku tersebut difotokopi ramai-ramai. Buku lain yang mudah didapat tanpa membajak tentunya saya beli. Saya salah tapi tak bisa menyalahkan diri sendiri.

Tidak ada komentar: